Program KB Seharusnya Selektif

Program KB Seharusnya Selektif

Tgians – Program KB Seharusnya Selektif; Menurut opini pribadi saya, program KB di Indonesia seharusnya lebih selektif agar tidak salah sasaran.

Opini ini tentunya saya simpan sendiri, ya setidaknya sampai saat ini. Mengapa? Saya sadar jika tulisan ini bisa menjadi kontroversial dan akan memancing keributan jika sampai viral.

Kebanyakan dari kita pasti mengenal beberapa orang di Indonesia yang seharusnya memiliki bibit unggul justru hanya mempunyai anak yang sedikit.

Bibit unggul yang saya maksud ini adalah orang-orang yang biasanya berasal dari kalangan yang terpelajar, memiliki moral yang tinggi dan berasal dari strata sosial yang tinggi.

Memang sih, tidak semua calon orangtua dari bibit unggul ini berasal dari keluarga yang kaya, namun bisa saja berasal dari segala lapisan ekonomi.

Mereka justru terus mempertimbangkan dengan matang-matang tentang pilihan pasangan hidup mereka, mencari gen dan bibit yang sama baik secara kualitas.

Perencanaan yang Matang

Di dalam hal berumah tangga-pun mereka juga sangatlah terencana tentang berapa anak yang akan mereka miliki.

Mereka juga akan berusaha dengan maksimal memberikan sumberdaya yang berguna untuk mendukung kualitas hidup untuk keturunan-keturunan mereka yang berikutnya.

Tentu saja hal tersebut bukan melulu soal materi, namun segala bentuk persiapan itu bisa dilihat dari kemauan untuk mempelajari gizi calon janin saat masih di dalam kandungan.

Lalu berlanjut ke tahap perkembangan psikologis dari sang anak, sampai ke usaha-usaha untuk memberikan fasilitas pendidikan.

TIdak hanya itu, mereka juga memperhatikan lingkungan di sekitar tumbuh kembang anak.

Mereka laukan itu guna mendapatkan hasil yang terbaik yang masih dalam jangkauan mereka.

Lalu, anak-anak yang lahir dari orangtua seperti ini, meskipun tidaklah suatu jaminan mutlak, mereka memiliki peluang besar untuk tumbuh menjadi pribadi yang baik.

Program KB Seharusnya Selektif; Mari Kita Bandingkan

Baiklah, mari sekarang kita perbandingkan dengan beberapa orangtua yang hanya menganggap anak itu hanya hasil dari hubungan seksual.

Atau tujuan dari orangtua untuk mempunyai anak itu sebatas jawaban atas tekanan sosial dari para teman-teman atau kerabat.

Seperti mereka yang selalu menanyakan berbagai pertanyaan intimidatif seperti kapan menikah dan kapan memiliki anak.

Aatau ada juga yang menganggap bahwa anak adalah rencana jangka panjang keuangan (investasi). Yang kelak bisa diharapkan untuk dapat memperbaiki ekonomi keluarga, apalagi dengan keadaan orangtua sudah lanjut usia.

Sekali lagi saya tekankan bahwa faktor ekonomi bukanlah alasan dari orangtua seperti ini untuk tidak memberikan ataupun menyiapkan hal terbaik untuk masa depan anak mereka.

Lapisan Kelas Atas Juga…

Masyarakat yang berada pada lapisan atas juga banyak yang terlihat tidak serius dalam mendidik anak-anak mereka.

Mereka membiarkan saja saat anaknya menangis dengan histeris, tantrum dan berteriak layaknya simpanse di tempat umum.

Saya juga terkadang melihat mereka terkadang tidak memiliki etika pada saat makan, contohnya saja pada saat mengunyah mulut berkecap menjijikkan.

Lalu banyak dari mereka juga membiarkan anak-anaknya menggunakan piring dan peralatan sendok beradu, berisik seperti tidak pernah diberikan makan.

Banyak juga anak-anak mereka dibairkan berlaku agresif seperti merebut mainan orang lain, memukul, merusak barang-barang, dan bersikap tidak sopan terhadap orang lain.

Apalagi mereka tidak memberikan tindakan lanjut atas apa yang dilakukan sang anak guna mengkoreksi kesalahan mereka.

Bagaimana bisa sih orangtua seperti ini bisa merasa tidak perlu mengajarkan adab atau pendidikan dasar karakter yang baik di saat itu juga?

Mereka malah tertawa-tawa sambil dengan berkata santai ‘kan juga namanya anak-anak, nanti jika sudah besar juga bisa paham sendiri.’

Yang lebih lucunya lagi, orangtua seperti inilah yang justru kaget sekali jika suatu hati anaknya akan jatuh terjerumus ke dalam narkoba, obat-obatan, atau jika dihadapkan pada urusan serius sampai ke penegak hukum dikemudian harinya.

Padahl sebelumnya mereka cuek saja dan tidak perduli pada saat anaknya mulai terlihat gejala-gejala salah dalam lingkungan pergaulan.

Akumulasi yang ditanggung karena merasa tidak perlu dikoreksi kesalahan atas perilaku anak sejak dini akhirnya bertumpuk saat mereka mulai menyesalinya.

Program KB Seharusnya Selektif; Generasi Sandwich

Ini salah satu yang menurut saya lebih konyol, orangtua yang berumah tangga dengan nekat. Yang dengan sengaja (atau hobi bikin anak?) mempunyai banyak anak, tapi tidak memiliki perencanaan finansial cukup untuk anak-anaknya.

Anak sulung selalu didoktrin agar bisa cepat lulus sekolah dan langsung bekerja, yang dikemudian hari bisa dibebani untuk mengirim uang.

Kiriman uang itulah yang digunakan untuk membiayai pendidikan dari adik-adiknya dikemudian hari, karena pada awalnya sang orangtua tidak mempersiapkan finansial yang cukup.

Di sinilah saya merasa bagian lucunya, yang hobi berkembang biak siapa, tapi yang disuruh menanggung konsekuensinya siapa. Hahaha..

Orangtua yang memiliki tipe seperti ini biasanya mempunyai pendirian ‘jangan takut buat punya anak, setiap anak pasti ada rejekinya masing-masing.’

Kenekatan mereka inilah yang memperlihatkan bahwa mereka seperti melemparkan permasalahan ekonominya kepada Tuhan.

Padahal disana terlihat mereka sendiri yang dengan sembrononya tidak mempergunakan akal sehat mereka untuk menyelesaikan masalah perekonomian mereka.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Pada kasus lain yang saya temui, bahkan tidak bisa dielakkan lagi mungkin saja si anak bisa menjadi sasaran utama untuk dihajar habis-habisan.

Apalagi saat adanya kesalahan sepele yang dilakukan sang bapak atau ibu yang tidak bisa disalurkan emosinya secara waras atau tidak memiliki manajemen emosional.

Atau juga ada anak yang tumbuh karena kekerasan verbal dari orangtuanya, yang membuat diri mereka menjadi berkecil hati (tidak percaya diri karena sering didoktrin dengan kata-kata negatif).

Pada kasus yang lainnya juga mungkin ada beberapa anak yang dilimpahi dengan berbagai hal yang bersifat materi yang berlebihan.

Materi yang diberikan ini adalah wujud dari penebusan dosa atas rasa bersalah dari sang orangtua. Apalagi yang sering meninggalkan sang anak pergi keluar kota ataupun luar negeri.

Yang secara tidak sadar memberikan resiko bahwa anaknya bisa tumbuh dengan sifat ‘matre’. Karena mereka mengira bahwa bentuk kasih sayang itu berupa materi.

Di sini juga orangtua tidak paham jika anak itu butuh antesi dan apresiasi yang cukup dari orangtuanya di masa tumbuh kembangnya.

Memberikan Hasil yang Berbeda

Pada saat dewasa, mungkin saja anak-anak dari hasil didikan orangtua seperti itu tetap bisa bertumbuh menjadi manusia yang berfungsi untuk masyarakat sekitarnya.

Namun, mereka membawa luka dari hasil-hasil akumulasi ketidakbecusan orangtua mereka pada saat merawat mereka sedari kecil.

Kembali lagi, orangtua untuk tipe pertama yang biasanya hanya memiliki sedikit anak (palingan hanya satu sampai tiga orang anak saja).

Padahal, seharusnya orang-orang seperti merekalah yang pantas memberikan keturunan (diperbanyak) yang banyak.

Mengapa? Karena mereka mampu menghasilkan generasi yang bagus dan paham konsep parenting yang bagus juga.

Orang tua tipe yang kedua ini lah yang seharusnya menjalankan program KB. Mereka saya sebut tidak berguna, mengapa?

Karena orangtua tipe mereka hanya ingin memperbanyak jumlah manusia namun tidak ada keinginan untuk memanusiakan anak-anak mereka.

Kalau perlu malah setelah dapat anak pertama langsung di ‘steril‘kan saja organ reproduksi mereka, agar tidak ada lagi jatuhnya korban karena kesalahan mereka.

Saya sangatlah sadar bahwa tidak semua orang bisa setuju dengan pemahaman atau opini saya ini, karena tidak semua orang juga berlandaskan pemahaman yang sama.

Bagaimana? Terlalu dark? Saya juga berpikiran sama kok.

Agnes Ann Luisa

About the Author

You may also like these

X